Ditulis oleh: Nur Kholis
Hujan belum usai menulis kisahnya di senja hari. Mengalir di sela – sela semak – belukar, mengalir menempati dataran rendah, singgah di ruang kosong. Seperti berlembar – lembar buku, halaman – halaman demi halaman, tak ingin sesingkat itu kisah sang hujan usai. Purna pergantian senja menuju malam. Senja dan hujan selalu punya romantisme yang tak terikat oleh waktu, jalin – menjalin kapanpun itu, bila alam berkarsa, kisah alami dua bagian alam membuka kisahnya.
Seperti senja dan hujan, bocah lelaki itupun menyimpan kisahnya sendiri seiring bergulirnya sang matahari balik ke peraduan. Si bocah mengisi kisahnya setiap senja hari tiba. Kisahnya dimulai dengan segala kesendirian, bercengkrama dengan kegetiran, namun, sepahit apapun ia selalu bermunajat. Menengadah ke langit.
Semenjak kepergian orang tuanya karena virus mengerikan itu, bocah itu tak lagi melanjutkan pendidikan dasar seperti teman – temannya atau anak – anak yang seusianya, mengenyam bangku sekolah. Tak adalagi definisi atau asupan kasih sayang yang ia dapatkan. Tak ada lagi nasihat ataupun teguran dari orangtua yang dihormatinya, yang disayanginya. Musnah segala harapan. Dua manusia yang sangat berarti baginya lebih berarti dari apapun yang ada di dunia.
Raib semua kemanjaan – kemanjaan yang bisa ia tuai setiap hari dari ibu terkasihnya. Tak adalagi ia beroleh oleh – oleh dari ayah tercintanya. Padahal, setiap senja ia selalu rajin mendengar suara knalpot ayahnya selepas pulang kerja yang senantiasa membawakan buah tangan untuknya walau cuma sekedar makanan ala kadar. Sampai hafal betul suara knalpot motor milik ayahnya. Tak ada suara knalpot lain yang memiliki suara yang sama seperti yang dimiliki ayahnya.
Tak ada panggilan, celotehan, sapaan, atau bahkan elusan dan usapan di kepalanya pada pagi hari, siang hingga malam. Dunia terus berputar, tak peduli ia sedih atau bahagia. Taip hari bocah itu harus membombardir gemuruh – gemuruh yang terus bergejolak di dadanya dengan ketegaran yang ia bangun sedikit demi sedikit.
“Ibuuuuuuuuu!” ia memanggil. “Ayaaaah!” ia berteriak. Tak ada jawaban pada sisi kamar atau bagian manapun di rumah itu. Selalu ia teringat ketika orangtuanya mendidiknya supaya menjadi anak yang tergar suatu saat nanti. “Nak, bila ayah dan ibumu tak ada lagi di dunia ini, kamu harus bisa hidup sendiri.” Pinta ayahnya sambil terbatuk – batuk. “Iya, nak.” Ibunya mengiyakan.
Ia tak pernah protes, mengeluh, kesal atau bahkan menggerutu. Justru ia sadar dengan keadaan kedua orangtuanya. Ia bersyukur karena dilahirkan memiliki orangtua hebat seperti mereka, orangtua yang luar biasa yang ia punya. Namun ia merasakan kehilangan yang amat sangat pedih semenjak kepergian kedua orangtuanya.
Hilang semua penopang hidupnya, harapan dan semangatnya selama beberapa bulan. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, ia harus berusaha segala sesuatunya sendiri Sedari kecil ia sudah dipaksa oleh keadaan. Jika ingin hidup ia harus melakukan apapun sendiri, segala sesuatunya sendiri karena kebutuhan – kebutuhan sehari – hari tak cukup hanya mengandalkan barang – barang atau peninggalan warisan, untuk dijual lalu ditukar dengan keperlun makanan, pakaian dan keperluan sehari – hari lainnya.
“Tidak mungkin aku tidak melakukan sesuatu. Aku harus melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Entah bagaimana caranya, aku harus mencari pekerjaan, walaupun umurku belum cukup untuk bekerja.” Pikirnya dalam hati.
Bocah itu mulai melihat – lihat barang – barang bekas yang ada di dalam rumahnya. “Hmmm……sepertinya aku punya ide.” Terbersit di kepalanya. “Barang – barang bekas ini jika dijual pasti cukup untuk keperluan makanku sehari – hari.” Begitu pikirnya. Mulailah ia mengemasi dan mengumpulkan barang – barang bekas. Awalnya agak enggan, kikuk, tidak terbiasa dengan kegiatan mengumpulkan barang- barang bekas. Tapi apa mau dikata, jika ia tidak bergerak, tidak bekerja, tidak menjual barang bekas tersebut, ia mau dapt uang darimana. Tidak mungkin mencuri. Imannya masih begitu kuat melekat sehingga tak sampai hati ia berbuat jahat seperti itu.
Didikan orangtuanya yang begitu kuat, sangat tertanam dalam hatinya. Kehidupan agama si bocah tak luntur sedikitpun meski ia telah ditinggalkan orangtuanya. Pendidikan karakter yang cukup luar biasa dari kedua orangtuanya. Moral, akhlak dan iman, sangat terpatri kuat dalam hati, jiwa dan pikirannya. Ia tak ingin menyerah dalam kehidupan yang serba kurang ini, meski sesulit apapun tantangan yang ia hadapi. Ia ingin membuat kedua orangtuanya bangga. “Nak, jangan pernah menyerah meski kamu sendirian. Belajarlah mandiri, berusahalah sendiri. Jangan selalu mengandalkan ayahmu, ibu. Tidak selamanya kami bisa bersamamu.” Nasihat terakhir terus terngiang – ngiang dalam pikirannya.
Bocah itu memantapkan keteguhan hatinya, kebulatan tekadnya. Tekad untuk terus menjalani hidup meski orang – orang tercintanya telah pergi mendahuluinya. Dalam mengerjakan pekerjaannya sehari – hari, ia rutin mencari semacam karung goni, atau karung plastik atau bahkan karung semen. Setelah semua barang berhasil ia kumpulkan, iapun menjual barang – barang bekas itu di tempat loakan.
“Ini uangmu, nak. Cukup lumayan hasil pengumpulan barang bekasmu hari ini, nak” kata si penjual barang bekas. “Sama – sama, pak! Mudah – mudahan selalu dimudahkan rejekinya.” Jawab si bocah. “Amiiin…” Si penjual menimpali. Sepulang dari menjual barang bekas, sambil menenteng karung lusuhnya yang kebetulan itu karung satu – satunya yang ia dapatkan saat itu, matanya tertuju pada suatu bangunan sekolah. Ia tertarik dengan suara – suara dari bangunan sekolah itu. Kedua telinganya ia arahkan pada sumber keramaian itu dengan kedua tangannya yang berbau amis dan karat bekas mengeluarkan barang – barang bekas di tempat loakan. Pikirannya jauh melintas pada kenangan sewaktu di duduk di bangku sekolah dasar dulu. Agak berkaca – kaca kedua matanya mengingat masa – masa itu. Rasanya begitu rindu, begitu kangen, ingin kembali ke masa itu.
Buru – buru ia tepis kenangan itu, ia tidak ingin terlarut di masa – masa dulu. Kembali hatinya tergerak untuk mendekati sekolah itu. Ia mengintip dari balik jendela kedua bagian belakang, bocah itu bagitu kagum dengan goresan garis yang tertulis di white board sekolah yang ia singgahi.
Hari demi hari ia rajin mengintip setiap pola goresan yang selalu berubah – ubah tiap harinya tapi dia hafal dengan beberapa pola goresan yang sering tertulis di white board itu. Ia masih ingat betul beberapa bentuk dan pola goresan sewaktu ia sekolah dulu, tapi sekarang mungkin ia sudah lupa. Ia tidak ingin ketahuan oleh guru ataupun siswa di sekolah tersebut, makanya ia mengendap diam – diam. Ia mencari posisi yang benar – benar aman, posisi yang tidak bisa diketahui oleh siapapu. Terkadang ia duduk, jongkok, berdiri, mencari posisi yang tidak bisa dilihat oleh siswa ataupn guru yang ada di kelas tersebut.
Senjapun tiba, goresan dan pola – pola garis itu sudah bermain – main di kepalanya menjadi suatu aksara yang indah, aksara yang tak terkata, aksara senja yang membuat kisah. Magribpun tiba, iapun mandi membersihkan badannya yang sudah sangat bau oleh keringat yang ada di kedua ketiaknya.
Bocah itupun beribadah, sambil menunggu isya’ tiba. Usai ibadah isya ditunaikan, bocah itu mengisi perutnya sudah keroncongan dari siang ia meninggalkan rumah. iapun makan dengan lahapnya dari hasil jualan barang bekas yang ia kumpulkan. Setelah menyelesaikan makannya, ia bersiap hendak tidur merebahkan diri, melepas penat seharian yang menempel di tubuhnya. Sebelum memejamkan mata, Ia masih terpikir tentang goresan dan pola – pola garis yang lihat di sekolah itu. Pagipun tiba.
Suatu ketika, setelah selesai dengan pekerjaan rutinnya, ia melanjutkan kegiatan belajar diam – diamnya, namun kali ini matanya terhenti pada tumpukan – tumpukan kertas yang tersobek – sobek di kotak sampah belakang sekolah. Matanya tak berkedip sedikitpun mengamati pemandangan itu. Ia begitu antusias untuk mengetahui isi tulisan dalam sobekan – sobekan itu.
Sobekan – sobekan kertas yang berserakan itu ia kumpulkan, ia susun seperti puzzle. Tak pernah terbersit di pikirannya ia begitu antusias menyusun sobekan – sobekan itu. Sobekan – sobekan itu ia lem dengan nasi yang dia ambil dari kotak sampah sekolah. Setelah sobekan itu terlem dengan rapi lalu ia letakkan sobekan itu di sebuah halaman. Ia tunggu sampai kering. Lamat – lamat, ia amati potongan – potongan kertas dan sobekan yang sudah menyatu itu. Sepintas ia melihat ada potongan – potongan huruf dan angka yang tertulis disitu. Ia lihat dari kiri, dari kanan, dari atas, dari bawah.
Masih ia simpan sobekan – sobekan yang sudah dilem itu. Masih ada yang harus dipecahkan, seperti misteri, seperti perjalanan mencari harta karun, seperti. Namun misteri ini berbeda, tak ada reward, tak ada hadiah. Hadiahnya adalah rasa penasaran tingkat dewa. Tak bisa dikalahkan oleh apapun. Misteri ini adalah sebuah goresan, guratan, hubungan garis – garis kecil yang meliuk – liuk kesana kemari layak cacing yang menggeliat – liat kepanasan di tengah sahara, lenggak – lenggok ular derik di gurun pasir. Penuh tanda tanda, terselelubung. Ada juga kumpulan jumlah angka seperti ratusan, ribuan, bahkan jutaan yang tertulis disitu. Ia makin penasaran apa maksud dari kertas sobekan itu.
Ia terduduk di sisi jalan sambil meletakkan karung bekas di sisi paha sebelah kanan. Niatnya ingin kembali mencari barang bekas untuk dijual. Tapi apa hendak dikata, hatinya masih tertarik dengan kertas sobekan itu. Kertas sobekan yang penuh dengan aksara dengan penuh makna, penuh tanda tanya.
Senja sudah hampir tiba, ia melihat orang – orang di sekitarnya yang berlalu – lalang. Ia mencoba memberanikan diri untuk bertanya. Ia mencoba memilih – milih orang dewasa yang akan ia percaya untuk membantunya memecahkan teka – teki kertas sobekan itu. Kebetulan ada seorang polisi lalu lintas yang sedang lewat di depannya. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
“Pak! Pak! Pak Polisi.” Panggilnya. “Iya, nak” jawab Pak Polisi. “Apa bisa bapak membantu saya?” Tanya si bocah. “Bantu apa, nak?” tanaya kembali Pak Polisi. “Kalau tidak keberatan, bisakah bapak membantu saya membaca apa isi kertas sobekan yang sudah saya lem ini?” bocah itu menyodorkan kertas sobekan kepada Pak Polisi. Lipatan sobekan kertas yang sudah dilem tersebut dibuka lalu dibaca oleh Pak Polisi.
Wajah Pak Polisi itu terbelalak kaget. “Hah!” matanya melotot. “Ini namanya penggelapan uang sekolah.” Di kertas sobekan itu ada alamat sekolah tersebut, tertulis jumlah uang yang tidak sedikit nominalnya, tertulis juga nama dan tanda tangan disitu. Si bocah kaget karena tiba – tiba Pak Polisi menelepon seseorang. “Pak! Pak! Apa yang bapak lakukan? Kenapa bapak menelepon seseorang. Apa bapak mau menangkap saya? Jangan Pak! Saya tidak tahu apa – apa. Saya tidak salah apa – apa. Saya tidak melakukan kejahatan. Sayapun tidak mencuri. Ampunilah saya pak!” bocah itu meneteskan air mata. Pak polisi itu menghampirinya.
“Nak, kamu tidak salah apa – apa. Justru kamu telah berhasil mengungkapkan salah satu perbuatan illegal, tindak kejahatan di suatu sekolah. Dan sekolah itu harus berterima kasih padamu nantinya.” Jawab Pak Polisi. “ Saya nanti akan memohon kepada pihak yang terkait untuk memberikanmu hadiah.” Pak Polisi menambahkan.
Tak terasa senja benar – benar telah tiba sudah akan beranjak malam jelang magrib. Kisah senja yang benar – benar penuh makna, menguak sebuah misteri tanpa disengaja. Senja dengan kisah si bocah dengan keingintahuannya, rasa penasarannya akan sebuah aksara, aksara senja bagi si bocah.
“Ayah, ibu, mudah – mudahan kalian sedikit bangga padaku.” Sambil tersenyum bahagia ia kembali ke rumahnya
Tulis Komentar
Komentar Terbaru
Belum ada komentar.