Ditulis oleh: Nur Kholis, S.S
Seperti burung yang berkicau di pagi hari, bagian – bagian alam lainnya, ciptaan Tuhan, makhluk bernyawa, ayam jago, kucingpun tak mau kalah berlomba menyambut pagi. Mereka seakan – akan ingin berada di garis terdepan untuk menjadi pemenang kisah pagi. Burung unjuk kebolehan dengan kicau dan celotehnya, ayam jago dengan kepakan kedua sayap dan kokoknya, kucingpun dengan mengeongnya. Ayam jago walau suaranya lebih lantang dan nyaring namun tak seindah suara kicau burung apalagi suara kucing.
Teramat pandai jika sang burung mesti berkicau. Tak hanya berkicau, bercelotehpun hewan itu memang ahlinya seperti burung beo, perkutut, humming bird, gagak, elang, jalak dan nama – nama burung lainnya yang mahir dalam berkicau dan berceloteh. Selain mahluk yang bernyawa, ada juga ciptaan Tuhan lainnya, ciptaan Tuhan yang tak bernyawa namun seperti bernyawa, punya perasaan, atau bahkan menyimpan emosi. Salah satu bagian alam yang satu ini memiliki dua sisi, yang menguntungkan dan sekaligus merugikan, tergantung dari sudut mana dipandang.
Jika ia hadir di tengah dataran yang kering – kerontang, musim kemarau atau pada tanaman yang membutuhkan pengairan, maka ia menjadi rahmat dan berkah bagi umat manusia. Ini sisi yang menguntungkan. Namun jika ia hadir di tengah – tengah carut marut bangunan kota, padat penduduk, sampah menumpuk, tanah longsor, maka ia akan menjadi banjir bandang dan air bah, ini sisi yang merugikan. Itulah hujan, cairan yang berproses secara alami dari bumi kemudian menguap dan mengendap di awan lalu kembali turun ke bumi. Dari bumi kembali ke bumi. Hujan menjalankan tugasnya secara alami, bukan direkayasa. Ia selalu tunduk pada perintah Sang Ilahi.
Hujan seperti punya perasaannya, ungkapannya, atau emosinya. Jika deras, apakah artinya hujan sedang marah, bila rintik apa ia sedang baik hati. Tidak, itu terjadi secara alami. Tak peduli mau deras atau rintik, hujan selalu menjalankan tugasnya membasahi bumi. Namun jika diamati baik – baik, rintik hujan seperti mencari tempat untuk berceloteh. Rintik akan berceloteh bila ia menemukan dataran, dasaran, landasan, alas, yang bisa menimbulkan bunyi, tepatnya bunyi ritmis yang berirama walau kadang tak berirama. Jika hujan masih berlangsung, rintik seperti terus mencari tempat untuk berceloteh. Tepat di sebuah rumah sederhana.
Seorang wanita tua di rumah sederhana, tanpa disadarinya, ditemani oleh suara rintik hujan. Tak menggubris apa yang dilakukan wanita tua itu. Wanita itu sedang sibuk memotong – motong bagian – bagian sayur yang tak layak untuk dikonsumsi. Ada banyak macam sayuran tergeletak di sampignya. Ada sayur bayam, kubis, kangkung. Beberapa sudah terikat dengan rapi dengan akar pohon atau dengan tali rafia. Sesempatnya, wanita itu mengikat sayur dengan berbagai macam pengikat; karet, akar pohon, rafia.
“Apa sayur – sayur yang sudah diikat ini sudah cukup?” tanyanya dalam hati. “Ah, tidak! Ini masih belum.” Jawabnya sendiri. Sementara di atas atap rumahnya, celoteh rintik masih saja terus berlangsung seakan mereka ikhlas menemani kesendirian wanita itu. Tak mau tahu, suka atau tidak suka wanita tua itu, rintik hujan terus saja berceloteh karena hujan masih memberi waktu yang panjang.
“Oh…hujan masih belum juga reda. Rintik – rintik di atap rumahku juga seperti tak kunjung berhenti berceloteh” gumamnya dalam hati. Dalam hati ia berkata sambil melihat atap “Rintik hujan, teruslah kau berceloteh menemani aku yang sendirian ini, jangan kau berhenti selagi aku belum selesai dengan pekerjaanku ini.” Pintanya dalam hati. Bunyi celoteh rintik terus saja berjalan seakan mengiyakan keinginan wanita tua itu. Seakan menjadi sahabat karib saat itu. Seolah melenggang dan menari, berpesta - pora di atas atap, tanpa hidangan, tanpa musik, tanpa panggung karena merekalah aktor utamanya, musiknya, panggungnya, hidangannya. Seperti slime, mereka menjadi apapaun untuk berpesta, membuat kebisingan di atas atap. Tanda mereka seperti girang berceloteh karena si empunya rumah meminta mereka menemaninya.
“Rintik! Kau teruskanlah berceloteh atau berpesta di atap sana. Aku belum kelar menyelesaikan kerjaanku untuk esok hari. Jika aku tidak menjual sayur – sayur ini, bagaimana aku mendapatkan uang? Jika aku tidak mendapatkan uang, bagaimana aku bisa membeli makanan? Badanku memang sudah renta. Tapi siapa yang akan membantuku? Siapa yang sudi menolong wanita tua ini! Rintikpun menjawab dengan celotehannya, dengan nyanyiannya.
Rintik itu dari 1 bunyi tik kemudian menjadi 2, 3, 4 dan seterusnya makin lama makin banyak menjadi tik – tik. Bunyinya makin berirama indah.menyusun melodi indah sendiri. Ibarat sebuah komposisi musik, rintik – rintik yang terus bertik – tik itu terus bersenandung menyedihkan suasana atau menggembirakan suasana bagi yang melihat sekaligus mendengarnya. Rintik hujan itu bukan hanya bersenandung tetapi berkicau seperti burung dan bahkan berceloteh seperti bayi atau bocah kecil.
Celoteh rintik hujan yang tak kunjung berhenti itu akhirnya berkumpul lalu mengalir pada sebuah atap seng sebuah rumah. Terus mengalir, airnya membasahi halaman rumah bagian belakang di samping dapur lalu menyentuh sebuah tubuh yang tergeletak tak berdaya. Tubuh wanita tua separuh baya yang penuh dengan darah. Tubuhnya tak bergeming, tak bergerak, terdiam. Entah sudah berapa jam tubuh wanita itu terbaring di sana. Tak ada tetangga atau orang – orang yang tahu apa yang terjadi dengan tubuh wanita tua itu.
Ada mungkin, celoteh rintik, yang awalnya adalah guyuran hujan deras beberapa jam sebelumnya, meredam dan mengkedap-suarakan teriakan wanita tua itu saat terjadi sesuatu pada wanita tua itu. Sesuatu telah mengenai tubuh wanita tua itu sehingga tubuhnya bersimbah darah. Namun, di saat yang bersamaan, wanita tua itu berteriak – teriak minta tolong. Teriakan mint tolongnya dikalahkan oleh suara celoteh – celoteh rintik hujan yang sangat ramai seramai suara orang – orang di pasar melakukan transaksi jual – beli.
“Tik – tik…tik – tik….tik – tik…” celoteh rintik terus berulang bernyanyi, berulang nada, berulang bunyi menyanyikan irama dan ketukan yang sama. Tiap hitungan detik, ketukannya sama persis, tak kurang tak lebih. Celoteh itu bersahut – sahutan bergantian sehingga menutup suara dan bunyi apapun yang ada di sekitarnya termasuk mengubur suara teriakan wanita tua itu.
Waktupun berjalan, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, seakan memberi sinyal kepada hujan yang sedang menjalankan tugasnya membasahi bumi, membasahi tanah yang dijatuhinya. Seolah tahu kode alam, hujan bersama celoteh – celoteh rintiknya perlahan – lahan mulai reda, menurunkan tempo turunnya rintik. Menjadi tempo lambat, lambat, lambat dan semakin lambat; surut.
Celotehan rintik yang tak lagi bising, tak lagi riuh, berceloteh itu mengalir di bawah tubuh wanita tersebut. Alirannya yang bercampur dengan darah menjadi aliran air berwarna merah agak segar. Aliran itu terus mengalir mencari tempat yang rendah, jalan yang bisa dilalui. Tak ada kode ataupun sinyal atau apapun yang menghentikan aliran itu. Kodrat alami, tanpa persetujuan, tanpa musyawarah, tanpa diskusi, tanpa apapun, asalkan ada jalan, ada tempat atau dataran yang rendah, air itu melanjutkan kiprahnya sebagai salah satu bagian hujan; mengalir dan membasahi.
Seakan punya empati, atau punya perasaan, atau mungkin hutang yang harus dibayar, celoteh rintik yang telah berubah menjadi aliran air itu seolah ingin berbicara pada manusia bahwa ada sosok wanita tua yang tergeletak bersimbah darah entah karena apa. Tak kunjung dijumpai sesosok satu manusiapun. Seperti takdir, tubuh wanita tua itu belum menemukan sang penyelamat.
Lamat – lamat terdengar lirih suara wanita tua itu. “Tolooong! Tolooong! Toloong”, teriaknya lirih. “Tolong saya! Siapapun yang mendengar saya, tolong saya”, ia terus berteriak. Terbata – bata suaranya, makin lama makin parau. Ia terus merintih, meringis kesakitan. Ia menahan sakit yang teramat sangat. Ia memegangi perut sebelah kirinya dengan kedua tangan keriputnya. Darah terus saja mengalir dari bagian tubuh yang luka itu. Hampir sebagian baju yang ia kenakan basah oleh darah, merah.
Tak mau kalah oleh rintihan dan teriakan itu, celoteh rintik yang berubah wujud menjadi aliran air berwarna merah terus saja mengalir mencari tempat hentian, mencari sang penyelamat, siapapun itu. Aliran itu; seperti menjadi saudara atau sahabat wanita tua, seakan berlari mencari pertolongan. Arus kecil merah itu mengalir seolah membuat tanda S.O.S untuk wanita itu. Lalu terhentilah aliran itu di kubangan selokan tepatnya di rumah ketiga deretan rumah wanita tersebut.
Hari mulai malam, jalanan kecil di depan deretan rumah diterangi lampu – lampu jalan ditopang bambu panjang. Selokan itu sangat nampak jelas oleh cahaya salah satu lampu jalan, ada satu sepeda motor terparkir di situ. Seorang lelaki berjaket kulit coklat tua mendekati motor itu. Ia mengeluarkan kunci motor dari saku jaket sebelah kanan. Ketika hendak memegang stang kanan, matanya tertarik dengan warna air pada selokan itu. Ia mengurungkan menstarter motornya. Kunci ia masukkan kembali ke dalam saku jaket sebelah kanan. Ia mendekati selokan itu.
“Hmmm…..tidak seperti biasanya warna selokan di air berwarna merah. Biasanya sih keruh. Butek. Tapi ini, kenapa warnanya merah?’ ia bertanya sendiri dalam hati sambil mengikuti jalur sumber air selokan yang berwarna merah itu. Ia terus mengikuti sampai batas mana alliran kecil itu. Ia terus menelusuri. Cahaya makin lama makin gelap karena jauh dari lampu jalan. Ia mengeluarkan hp dari saku celana sebelah kiri. Ia lalu menyalakan hp itu. Satu rumah, dua rumah, tepat pada rumah ketiga, rumah wanita tua, lelaki itu terhenti langkahnya. Ia melihat pintu rumah wanita itu sedikit terbuka. Lelaki membuka pintu. Terbelalak matanya melihat seorang wanita tua tergeletak bersimbah darah.
“Tolong saya….!” pinta wanita itu dengan lirih. Tanpa berpikir panjang. Lelaki itu langsung mendekati wanita tua dan membopongnya. Ia tending pintu yang sedikit terbuka tadi. Bruuuaaaak! Pintu terbuka lebar. Sebelum keluar, ia menengok ke belakang sejenak dan melihat ada patahan kayu yang ujungnya runcing berwarna merah, ada tetesan darah di kayu itu. Hanya sedikit menyimpulkan, lelaki itu mengerti kira – kira apa yang terjadi. Begitu keluar dari rumah wanita itu. Lantas ia berteriak.
“Tolooooong! Tolooooong! Toloooong! Ada wanita terluka!” teriaknya. Jalanan kecil yang mulanya sepi, mendadak ramai oleh orang – orang yang bermunculan, tetangga – tetangga, orang – orang di sekitar keluar dari rumahnya satu persatu. “Ada yang punya mobil untuk mengantar nenek ini ke rumah sakit?”
“Saya, dek”, satu orang dari kerumunan itu mengangkat tangan. Segera orang itu mengambil mobilnya yang berjarak sekitar enam rumah dari rumah wanita itu. Tak lama berselang, mobil segera datang, wanita tua itu dibawa masuk ke mobil. Tetesan – tetesan rintik yang bercampur darah masih menempel di tubuh wanita itu. Rintik itu tak lagi cair, tak lagi berceloteh karena ia sudah mengering di tubuh wanita itu, seakan menyatu di tubuh wanita, menemaninya di bawa ke rumah sakit. Celoteh rintik sudah menjalankan perannya…
Tulis Komentar
Komentar Terbaru
Belum ada komentar.